Anjuran Berbaik Sangka Kepada Manusia Menurut Imam Ghazali
Imam Ghazali mengurai penjelasan buruk sangka dalam satu sub tema tentang ghibah, membicarakan keburukan orang lain. Menurutnya, buruk sangka tak lain adalah ghibah bathiniyah (membicarakan keburukan orang dengan hati). “Sebagaimana Anda diharamkan untuk menyebut keburukan-keburukan orang lain, maka demikian pula Anda diharamkan untuk berburuk sangka pada saudara Anda,” begitulah kata Imam Ghazali.
Prasangka memang hanya lintasan hati. Karenanya, berprasangka sebenarnya manusiawi. Tak ada orang yang mampu meredam atau menahan yang namanya lintasan hati. Tak ada orang yang tak pernah memiliki prasangka buruk terhadap orang lain. Tak seorang pun bisa menghilangkan sama sekali lintasan hatinya. Itu sebabnya, para sahabat mengajukan keberatannya kepada Rasulullah saat turun ayat “Dan bila engkau menampakkan apa yang ada dalam hatimu, atau engkau menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” (QS. Al-Baqarah : 284) Para sahabat yakin tak mampu menghalangi lintasan hatinya, jika itu termasuk dalam hitungan amal mereka. Akhirnya Allah menurunkan ayat selanjutnya, “Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sebatas kemampuannya.”
Imam Ghazali mengurai penjelasan buruk sangka dalam satu sub tema tentang ghibah, membicarakan keburukan orang lain. Menurutnya, buruk sangka tak lain adalah ghibah bathiniyah (membicarakan keburukan orang dengan hati). “Sebagaimana Anda diharamkan untuk menyebut keburukan-keburukan orang lain, maka demikian pula Anda diharamkan untuk berburuk sangka pada saudara Anda,” begitulah kata Imam Ghazali.Apa yang harus dilakukan agar bisa menghindari bahaya buruk sangka?
Pertama
Tumbuhkan empati kepada orang yang menjadi objek buruk sangka. Rasakanlah bila objek buruk sangka itu adalah diri Anda sendiri yang sangat mungkin mengalami banyak kekurangan. Tips ini sama dengan apa yang dianjurkan oleh Imam Ghazali, ketika ia membahas masalah ghibah. Untuk menghindari ghibah, menurut Imam Ghazali, salah satunya dengan merasakan bagaimana bila yang menjadi objek pembicaraan itu adalah diri sendiri. Bila kita senang mendengarnya, maka teruskanlah bicara. Tapi bila tidak, maka jauhilah pembicaraan negatif itu. Sama dengan kondisi ghibah dalam hati, cara menghindarinya bisa dengan membandingkan kondisi kita dengan kondisi orang yang menjadi objek prasangka.
Kedua
Teliti dari mana sumber perasaan negatif, atau buruk sangka itu muncul. Bila ia datang dari informasi seseorang, langkah yang paling baik adalah melakukan pertanyaan lebih detail tentang asal usul berita miring itu. Apakah nara sumber berita itu benar-benar telah mengetahui secara autentik tentang kejadian yang memunculkan prasangka itu? Atau bisa juga ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan tentang benar tidak-nya berita negatif tersebut. Bila Anda merasakan bahwa informasi itu belum tentu benar, berupayalah menghapuskan memori informasi itu dari pikiran Anda. Ada riwayat hadits menarik yang disampaikan oleh Imam Ahmad dengan sanad shahih. Suatu ketika ada seorang lelaki melewati suatu kaum yang sedang berada dalam sebuah majlis. Orang laki-laki itu mengucapkan salam, mereka pun menjawab salam orang tersebut. Tapi tak berapa jauh orang itu pergi, salah seorang dalam majlis itu berkata, “Sesunguhnya aku membenci orang itu karena Allah.” Orang yang mendengar perkataan itu terkejut dan mengatakan, “Buruk sekali apa yang engkau ucapkan. Demi Allah akan aku adukan hal ini pada Rasulullah.” Orang yang telah lewat itu kemudian dipertemukan oleh Rasulufah dengan orang yang memiliki prasangka buruk itu. “Mengapa kamu membencinya?” tanya Rasul. “Aku tetangganya, dan mengenalnya. Demi Allah aku tidak pernah melihatnya melakukan shalat kecuali yang diwajibkan,” katanya. Orang itu berkata, “Tanyalah wahai Rasulullah, apakah ia pernah melihatku mengakhirkan sholat di luar waktunya atau aku pernah salah berwudhu, ruku’ atau sujud?” Orang yang berprasangka buruk itu mengatakan, “Tidak.” Kemudian ia mengatakan, “Demi Allah aku tidak pernah melihatnya berpuasa sebulan kecuali pada bulan yang dipuasai oleh orang baik dan durhaka.” Orang yang dituduh itu mengatakan, “Tanyakan wahai Rasulullah, apakah dia pernah melihatku tidak puasa pada bulan Ramadhan, atau aku mengurangi haknya?” Orang itupun menjawab, “Tidak.” Tapi ia masih menambahkan lagi alasan kebenciannya. “Demi Allah aku belum pernah melihatnya memberi orang yang meminta minta atau orang miskin sama sekali, aku juga tidak pernah melihatnya menginfakkan sesuatu di jalan Allah kecuali zakat yang juga dilakukan oleh orang yang baik dan durhaka,” katanya. Orang yang dituduh itu mengatakan, “Tanyakan padanya ya Rasulullah, apakah dia pernah melihatku mengurangi zakat atau aku pernah menzalimi pemungut zakat yang memintanya?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Akhirnya Rasulullah berkata pada orang yang melontarkan kebencian tanpa alasan yang jelas itu. “Pergilah, barangkali dia lebih baik dari pada dirimu,” ujar Rasulullah.
Ketiga
Bila sumber informasi itu muncul dari dalam hati sendiri tanpa sebab-sebab yang jelas, kecuali sekadar penampilan lahir atau kecurigaan belaka. Beristigfar, dan mohon ampunlah pada Allah swt atas kekeliruan lintasan hati negatif itu. “Seseorang tidak boleh meyakini keburukan orang lain kecuali bila telah nyata dan tidak dapat diartikan dengan hal lain kecuali hanya dengan keburukan,” begitu nasihat Imam Al-Ghazali.Beliau mencontohkan, jika seseorang mencium bau minuman khamar dari mulut seseorang, ia masih belum boleh memastikan bahwa ia telah minum khamar, karena masih ada kemungkinan untuk dikatakan bahwa dia berkumur-kumur saja dan tidak meminumnya, atau mungkin dia dipaksa meminumnya.Menurut Imam Ghazali, sesuatu yang tidak disaksikan dengan mata kepala dan tidak didengar dengan telinga sendiri, tapi muncul di dalam hati, maka itu tidak lain merupakan bisikan setan yang harus ditolak, karena syetan adalah makhluk yang fasik. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya.” (QS.Al-Hujurat:6)
Keempat
Sadarilah bahwa lahiriyah seseorang tidak selalu identik dengan batinnya. Islam sama sekali tak mengajarkan penilaian seseorang dari aspek lahirnya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh kalian, tapi melihat pada hati kalian.” Dalam hadits shahih yang lain disebutkan pula bagaimana Rasulullah menggambarkan bahwa kondisi orang yang secara lahiriyah kurang baik, berdebu, rambutnya kumal, dan banyak dipandang hina oleh seseorang, tapi orang tersebut adalah orang yang paling didengar doanya oleh Allah swt. Sebaliknya, orang yang bersih, dan menarik penampilan lahiriyahnya, ternyata orang itulah yang memiliki penilaian tidak baik di mata Allah swt.Naif sekali, merasa curiga dan berburuk sangka karena alasan lahir. Allah swt bahkan menjelaskan bahwa di antara orang munafik biasanya memiliki penampilan yang memukau. “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum.” (QS. Al-Munafiqun : 4)
Kelima
Terimalah fakta bahwa setiap orang pasti pernah lepas kontrol sesekali. Tidak perlu mengembangkan perasaan dan dugaan terlalu besar dengan suatu kesalahan yang dilakukan seseorang. Kesalahan itu adalah hal lumrah bagi manusia. Karenanya, coba arahkan perhatian itu pada diri sendiri, bukan pada orang lain. Terlalu besar memperhatikan kesalahan orang lain, merupakan salah satu sebab seseorang menjadi mudah mencurigai dan berburuk sangka. Ingatlah prinsip yang diajarkan Rasulullah saw, Berbahagialah orang yang disibukkan oleh aib dan kesalahan dirinya, ketimbang sibuk oleh aib dan kesalahan orang lain.
Keenam
Salah satu pemicu buruk sangka adalah rasa was-was atau bayangan ketakutan yang akan kita terima akibat pihak tertentu. Untuk mengatasinya, tumbuhkan keyakinan kuat bahwa Allah swt Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas seluruh gerak gerik hambanya. Apa saja yang terjadi merupakan kehendak dan kekuasaan Allah swt. Keyakinan ini akan memunculkan kepasrahan dan ketenangan, serta tidak mudah membayangkan resiko pahit yang belum tentu benarnya. Keyakinan ini juga yang akan mengusir perasaan was-was dan bayangan menakutkan yang tak jelas ujung pangkalnya.
Ketujuh
Untuk mematahkan gangguan syetan, terapi yang paling penting adalah dengan dzikir kepada Allah dan berusaha memperbanyak amal-amal ketaatan. Keduanya akan sangat menciptakan suasana hati yang hidup, bersih dan jernih. Hal ini lebih jauh akan menumbuhkan kualitas iman yang semakin tidak mudah bagi syetan untuk bersemayam di dalam hati. Di sinilah, seseorang akan mendapat cahaya Allah swt sehingga pandangannya akan mengarah pada firasat yang benar. Takutlah dari firasat seorang mu’min karena ia melihat dengan Nur Allah. (HR. Turmudzi)
Kedelapan
Mintakan ampun kepada orang yang menjadi objek prasangka tanpa alasan yang jelas. Itu salah satu kafarat ghibah yang disebutkan oleh Imam Ghazali rahimahullah. Menurutnya, doa tersebut dapat menjengkelkan syetan sehingga syetan tidak bisa memasukkan lintasan negatif atas seseorang. Prasangka, menurutnya sama dengan ghibah dalam hati. Maka, tebusannya antara lain dengan memohon ampunan kepada Allah atas saudara yang dicurigai itu. Wallahu’alam.
No comments :
Post a Comment